Dieng Culture Festival 2025

Dataran Tinggi Dieng kembali hidup dengan gegap gempita. Ratusan wisatawan, seniman, dan warga lokal tumpah ruah dalam Dieng Culture Festival (DCF) 2025, sebuah perayaan budaya yang bukan hanya melestarikan tradisi, tapi juga memberi ruang bagi ekspresi seni kontemporer dan kreativitas anak muda.

Puncak festival yang digelar pada 23–24 Agustus 2025 ini tetap menghadirkan ritual sakral cukur rambut gimbal anak bajang di Kompleks Candi Arjuna. Sebanyak delapan anak mengikuti prosesi dengan berbagai “panyuwun” atau permintaan unik—mulai dari sepeda lipat, buku belajar, handphone, hingga makanan tradisional khas Dieng. Prosesi ini menjadi daya tarik utama sekaligus simbol spiritual yang melekat erat pada identitas masyarakat Dieng.

“Dieng Culture Festival XV adalah wujud nyata kolaborasi masyarakat, pemerintah, dan komunitas untuk menjaga warisan leluhur sekaligus menghadirkan pariwisata berkualitas. Festival ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana memperkuat ekonomi lokal dan mengangkat nama Dieng ke pentas dunia,” ungkap Eni Komiarti, perwakilan Kementerian Pariwisata.

Seni Kontemporer Bertemu Tradisi

Tahun ini, DCF hadir dengan tema “Back to the Culture”, sebuah ajakan untuk kembali meresapi nilai-nilai budaya lokal namun tetap terbuka terhadap eksplorasi seni baru. Salah satu gebrakan menarik adalah digantinya ikon Jazz Atas Awan dengan Orkestra Gamelan yang melibatkan 70 musisi dari Yogyakarta. Alunan gamelan yang megah di bawah hawa dingin Dieng terbukti mampu memukau ribuan penonton, menegaskan bahwa seni tradisi bisa tampil kontemporer dan relevan.

Selain itu, penyelenggara juga menambah porsi konten seni budaya di empat venue festival. Mulai dari pameran UMKM, pertunjukan musik keroncong, seni ketoprak, hingga Dimfoni Dieng—perpaduan musik tradisional dan modern—semuanya menjadi bukti kreativitas tanpa batas.

“Kami memang sengaja memperbanyak konten seni dan budaya tahun ini. Walaupun lampion dan musik tetap jadi magnet, esensi festival ini adalah merayakan warisan sekaligus memberi ruang bagi seni kontemporer,” jelas Alif Faozi, Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa.

Festival Budaya yang Terus Berevolusi

Di balik keramaian, DCF menyimpan makna mendalam: bagaimana tradisi bisa hidup berdampingan dengan modernitas. Lampion yang terbang menghiasi langit malam, ritual sakral di candi, hingga denting gamelan kontemporer menciptakan narasi baru tentang festival budaya yang dinamis, inklusif, dan berdaya guna.

Tak heran jika setiap tahunnya DCF selalu ditunggu. Ia bukan sekadar agenda wisata, tapi sebuah ruang pameran seni hidup yang menghubungkan generasi muda dengan akar tradisi, sekaligus menjembatani budaya lokal menuju panggung global.

“DCF itu seperti rumah bersama. Dari warga, seniman, hingga wisatawan bisa menemukan makna. Entah itu nostalgia budaya, inspirasi kreativitas, atau sekadar healing di udara dingin Dieng,” kata Budhi Hermanto, Koordinator Operasional DCF 2025.

Dengan segala daya tariknya, Dieng Culture Festival 2025 membuktikan diri sebagai sebuah festival budaya dan seni kontemporer yang bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga memberi energi baru bagi ekosistem seni Indonesia.