Bagi sebagian orang, festival musik adalah pelarian sesaat. Tapi bagi saya, Prambanan Jazz Festival adalah semacam pengingat halus bahwa industri musik Indonesia tak pernah benar-benar kehilangan nyawanya—ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyala lebih terang. Dan Juli 2025 ini, api itu menyala tepat di kaki Candi Prambanan.

Jika kita lihat lebih dekat, Prambanan Jazz tidak hanya berjualan nostalgia. Ia merajut benang merah antara pelaku musik lintas generasi—dari dedengkot pop dan jazz klasik hingga penyanyi muda yang tumbuh dari platform digital. Sebut saja Erwin Mercy’s Band, Deddy Dhukun, hingga Harvey Malaiholo, duduk berdampingan dengan Ardhito Pramono, Nadin Amizah, dan Juicy Luicy. Ini bukan lineup acak, ini adalah kurasi rasa yang mendalam.

Bayangkan: satu malam kamu bisa bergoyang kecil dengan Shaggydog Brass Band, larut bersama Reality Club, lalu meneteskan air mata saat Ebiet G. Ade membisikkan bait “Berita Kepada Kawan”. Semua dalam atmosfer yang tidak memaksa, tidak glamor berlebihan—tapi hangat, seperti pelukan teman lama.

Di tengah geliat industri yang makin algoritmik dan instan, Prambanan Jazz tetap percaya pada proses yang organik. Rajawali Indonesia, sebagai organizer, memahami bahwa yang kita rindukan bukan sekadar lagu—tapi pengalaman. Maka bukan hal aneh kalau mereka menyisipkan nama-nama seperti Modulus, Society of Harmony, Komunitas Jogja 90’s, hingga Teddy Adhitya dan Dere. Nama-nama ini mungkin belum dominan di chart, tapi punya pengikut setia, punya “jiwa”.

Yang juga menarik, festival ini tak melulu berkiblat ke barat. Ada panggung spesial bagi keroncong dan irama tradisi: Nasida Ria, Letto & Kiai Kanjeng, hingga Karimata hadir sebagai penyeimbang. Sebuah bentuk afirmasi bahwa akar budaya tetap tumbuh, meski daun-daunnya menari di irama jazz dan pop kontemporer.

Dan ya, lokasi adalah bagian tak terpisahkan dari magis ini. Di kaki Candi Prambanan, kita tidak cuma menonton konser. Kita sedang duduk bersila di antara puing peradaban, menyaksikan bagaimana musik menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan. Satu-satunya hal yang tidak berubah dari festival ini adalah keberaniannya untuk terus berubah—beradaptasi, berevolusi, dan bertumbuh lebih puitis setiap tahunnya.

Saya tak tahu pasti akan ada berapa ribu orang yang datang pada 4, 5, dan 6 Juli 2025 nanti. Tapi saya yakin, setiap penonton akan membawa pulang sesuatu yang lebih dari sekadar tiket dan foto panggung: kenangan. Dan mungkin, sedikit harapan bahwa musik—dalam bentuknya yang paling jujur—masih punya tempat di hati kita semua.

Sampai jumpa di Prambanan. Bawa hati, bawa cinta, dan jangan lupa… bawa jaket. Malam Jogja bisa sejuk menusuk kenangan.

(AGP)